Kamis, 05 Desember 2013

Esensi Taruhon Jual versus Dialap Jual



Esensi Taruhon Jual versus Dialap Jual 
Oleh : Sampe Purba
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengklaim sebagai satu-satunya kebenaran, mengingat  penyelenggaraan adat yang bervariasi antar daerah , dan banyaknya pendapat yang tersebar di berbagai media, serta keterbatasan ruang penulisan.
Dewasa ini di kota-kota besar seperti Medan, Jakarta dan sekitarnya, di mana acara adat unjuk (khususnya perkawinan  berdasarkan agama Kristen), dilaksanakan di Gedung Pertemuan sebagai ganti alaman/ huta, esensi taruhon jual versus dialap jual telah mengalami pendangkalan dan penyimpangan makna dalam praktek. Dialap jual atau taruhon jual hanya menjadi sekedar menyangkut penanggungjawab penyedia gedung dan makanan untuk jamuan pesta  (tuan rumah/ nampuna alaman/ huta) dan urutan prosesi memasuki gedung dan memanggil memasuki gedung kepada hula-hula masing-masing. Di alap jual hanya diartikan bahwa pihak yang menjadi tuan rumah adalah parboru (keluarga mempelai wanita). Sebagai lanjutannya adalah bahwa urutan hak memanggil/ manomu-nomu rombongan horong hula-hula masing-masing memasuki gedung pertama-tama adalah ke pihak parboru. Barulah kemudian pihak keluarga Paranak (keluarga mempelai pria)  manomu-nomu rombongan hula-hulanya. Urutan prosesi sebaliknya akan terjadi dalam hal Taruhon Jual. Esensi sesungguhnya jauh dari pada itu.
Jual adalah sejenis tandok pandan yang dianyam sebagai tempat menyimpan benih padi/ lopok. Parboru (orangtua mempelai wanita) ketika akan menikahkan puterinya akan membekalinya dengan benih padi dari sawahnya untuk dibawa dan dikembangkan kelak bersama suaminya. Padi adalah simbol kehidupan. Dalam alam pikiran Batak (jaman dulu), pihak hula-hula adalah pengantara berkat kehidupan yang dimintakan kepada Debata Mula Jadi na bolon. Dekat dengan pengertian Jual, adalah ampang. Ampang adalah wadah anyaman rotan yang agak bulat, dengan kerangka/pilar empat. Ampang tersebut berbentuk oval, dengan bagian bawah lebih kecil dari bagian atas yang terbuka. Ampang pada umumnya berfungsi sebagai tempat beras. Umpasa Batak yang dekat dengan itu adalah “Bagas na marampang na marjual, na marsangap na martua”. Artinya suatu rumah yang dilengkapi dan berisi bekal padi yang sustainabel melanjutkan keturunan, dan juga melimpah beras untuk menopang kehidupan sehari-hari.
Dalam adat dialap jual, maka pihak paranak akan datang di pagi hari ke rumah parboru menjemput calon mempelai wanita, untuk selanjutnya diiringkan ke Gereja menerima pemberkatan nikah. Setelah pemberkatan akan dilanjutkan dengan acara unjuk/ pesta adat  di gedung yang telah disiapkan pihak parboru. Acara di pagi hari tersebut, dikenal dengan marsibuha-buhai, yaitu mamuhai (mengawali) prosesi adat. Paranak membawa makanan adat (biasanya pinahan lobu/ pinallo) yang ditaruh di dalam Ampang, serta dijunjung (dihunti) oleh boru tubu/ terdekat dari orang tua mempelai pria.  Dari sinilah datangnya pengertian bahwa dalam unsur suhi ni ampang na opat, yang menerima hak/jambar ulos sihunti ampang adalah boru tubu/hela dari orangtua pengantin laki-laki.
Pihak Parboru berserta seluruh rombongan teman semarga (dongan sabutuhanya) akan membawa beras sebagai perlambang kehidupan ke gedung tempat pesta, untuk selanjutnya diserahkan menjadi milik pihak paranak. Jual (yang berisi padi) dari orangtua pengantin wanita juga akan dibawa ke gedung,  dan dari gedung itu lah pihak paranak membawanya(mangalap) pulang ke rumahnya setelah pesta usai.  Dewasa ini, mengingat kesulitan menemukan gabah padi di kota-kota besar, isi jual pun telah berganti menjadi beras. Namun demikian, untuk tetap mempertahankan status indukan dari seluruh beras rombongan parboru, seyogianya beras yang dibawa sebagai JUAL hendaknya ditandai dan diperlakukan khusus, sebagaimana ULOS Pengantin yang juga diperlakukan khusus.
Akan halnya TARUHON JUAL, pihak Parboru lah yang datang mengantarkan (MANARUHON)  BORU ke rumah pihak Paranak. Karena acara adat dilaksanakan adalah setelah upacara pemberkatan nikah di gereja, maka adat dan prosesi TARUHON JUAL dapat dilaksanakan di Gedung. Rombongan Parboru akan masuk gedung bersama dengan mempelai wanitanya dengan membawa JUAL yang berisi padi/ beras, untuk disambut Paranak. Juru bicara/ parsinabung Parboru akan berkata : “ Sesuai dengan kesepakatan adat kita sebelumnya, dengan ini KAMI MENGANTARKAN BORU KAMI sebagai PARUMAEN/ Paniaran MUNA bersama dengan (LAOS MANGIHUTMA) JUALna”  Pihak PARANAK selanjutnya akan menerima mempelai wanita dan JUAL tersebut menjadi di rombongan mereka. Sambutannya adalah lebih kurang : “Terima kasih kepada rombongan hula-hula yang kami muliakan. Dengan ini kami terima Paniaran kami, boru muna, bersama dengan JUALnya “  Atau apabila prosesi Taruhon Jual tersebut dilakukan di pagi hari, maka MARSIBUHA-BUHAI itu adalah di tempat/ rumah tinggal Paranak. Parboru yang harus datang ke sana mengantarkan borunya bersama dengan JUAL nya. Selanjutnya mereka dapat bersama-sama mengiringkan ke Gereja untuk pemberkatan nikah.
Banyak orang tua di kota besar seperti Jakarta atau Medan yang menolak ide tersebut dengan berbagai dalil dan dalih. Diantaranya adalah menganggap berkurang “sangap/wibawa”nya kalau borunya tidak dijemput dari rumahnya dengan marsibuha-buhai untuk selanjutnya ke gereja, serta Hula-hula harus selalu dalam posisi yang lebih dihormati. Sesungguhnya, tidak ada berkurang kewibawaan pihak Parboru pada adat TARUHON JUAL. Bukankah seluruh acara lamaran, marhori-hori dinding, patua hata, dan marhusip dilaksanakan di rumah parboru?.  Kalau sudah disepakati bentuk acara (rumang ni ulaon) adalah Taruhon Jual, maka semua pihak harus konsekuen. Adat adalah ugari, andor sipaihut-ihuton (tradisi baik yang akan diikuti). Pepatah Batak menyebut : Ompu Raja di jolo martungkot siala gundi, pinukka ni Ompu Parjolo, dipaihut-ihut na parpudi. Janganlah diselewengkan makna ungkapan  tersebut dengan modifikasi dan variasi yang jauh dari esensinya. Filsafat Batak sesungguhnya telah memberikan penghormatan egaliter kepada semua pihak dalam acara adat, yang tercermin dalam ucapan RAJA. Raja ni Parboru, Raja ni Dongan Tubu, Raja ni Hula-hula, dan Raja Naliat Nalolo.

Jakarta,  November 2013
Penulis – Pemerhati Pelaksanaan Adat dan Tradisi

Selasa, 03 Desember 2013

Paulak Une dan Tingkir Tangga - Pendangkalan makna pada Ulaon Sadari



Paulak Une dan Tingkir Tangga – Pendangkalan makna pada Ulaon Sadari

Oleh : Sampe Purba

Di kota-kota besar, di mana Pesta adat Unjuk diselenggarakan di Gedung Pertemuan., setelah acara selesai  - biasanya selepas maghrib -  akan dilanjutkan dengan Ulaon Sadari. Acara ini terkesan sangat dipaksakan. Dan menyesatkan ! .  Terlepas rumang ni ulaon apakah dialap jual atau taruhon jual, prosesinya adalah sama. Pengantin wanita dan suaminya berdiri di jajaran keluarga Parboru., kemudian dengan membawa tandok berisi lampet dan beras, beberapa Boru/ pariban ni boru muli bersama kedua pengantin tersebut, melangkah ke seberang meja di jajaran Paranak. Selanjutnya kedua pengantin tinggal di situ, dan rombongan boru tadi kembali ke jajaran meja Parboru dengan membawa makanan adat lengkap (biasanya anak ni pinahan lobu/ pinallo dengan parjambarannya). Boru tersebut juga diberikan amplop yang dikategorikan sebagai Upa Panaru. Prosesi ini tidak lebih dari 10 menit. Setelah itu bubar, karena kedua hasuhuton sudah berdiri, karena memang sudah siap-siap mau pulang ke rumah masing-masing setelah sehari penuh mengikuti acara pesta. 

Ini adalah prosesi yang menyesatkan, melecehkan dan mendangkalkan arti Paulak Une Tingkir Tangga. Argumentasi untuk itu adalah sebagai berikut :
Apabila rumang ulaon adalah ditaruhon jual, artinya bolahan amak/ host/ shahibul bait adalah Paranak. Bagaimana mungkin logikanya, pengantin wanita/ boru muli yang telah dirajahon hot di hundulanna , dan dipestakan di halaman rumah suaminya, harus di buat seolah-olah berangkat lagi dari rumah orangtua parboru. Kalau saja, rumang ulaon adalah di alap jual, masih ada logikanya, sekalipun kekeliruan maknanya lebih banyak lagi.
Pada substansinya, paulak une adalah suatu acara antar keluarga inti, beberapa hari setelah pesta unjuk selesai. Keluarga muda ini bersama orang tuanya akan datang ke rumah parboru, untuk bersilaturahmi, mengingat pada waktu pesta tidak banyak waktu bersama.  Tetapi satu esensi penting, adalah ucapan terima kasih dari pengantin pria, bahwa orang tua pengantin wanita berhasil mengasuh, mendidik dan memelihara adab dan adat borunya, yang tetap dalam kondisi “Gadis”, hingga ke hari perkawinannya. Gadis itu, tetap “UNE”. Pada zaman dahulu, “UNE”, adalah semacam jimat yang menjaga kegadisan seorang wanita dari pria jahat (semacam jimat anti pemerkosaan), yang diberikan orang tua kepada anak gadisnya. UNE tersebut dikembalikan (dipaulak UNE) dengan ketakziman oleh menantu laki-lakinya. 

Apabila seorang pengantin wanita ternyata sudah tidak gadis lagi, maka si pria akan meninggalkan SALAPA/ tempat tembakau yang kosong di sisi tempat tidurnya. Kemudian, utusan keluarga Paranak akan membawa SALAPA tsb ke hutanya parboru, serta menyampaikan maksud akan mengembalikan/ paulakhon/ mangolting/ menceraikan boru tsb. Apabila bukti-buktinya kuat, maka hal tersebut akan diterima dan disahkan oleh para pengetuai adat. Si wanita akan dijemput balik oleh parboru, atau dipaulak oleh paranak. Sementara itu, Sinamot/ mahar/ tuhor yang telah diberikan paranak sebelumnya harus dikembalikan parboru dua kali lipat. Di sini, ungkapan/ pepatah yang berlaku adalah :
Si dangka sidangkua, si dangka ni singgolom, na sada gabe dua, na tolu gabe onom, utang ni si pahilolong !!!
Nasehat kepada orang tua, yang memiliki boru untuk menjaga kesucian adalah :
“Marsihurhe manukna, unang teal buriranna”.
Tinallik bulung si hupi, pinarsaong bulung siala
Unang sumolsol tu pudi, ndang sipasingot na so ada
Demikianlah, betapa sakral dan suci suatu lembaga pernikahan adat batak, dalam konteks Paulak UNE yang sesungguhnya.
Dengan model yang sangat LEAS/ NEANG/ ASAL-ASALAN sekarang ini, di dalam ULAON SADARI, maka hilang dan sirna lah sudah esensi PODA moral kepada generasi muda kita untuk selalu menjaga kesucian tersebut. 

Tingkir Tangga
Tingkir Tangga adalah kunjungan balasan dari orang tua pengantin wanita bersama kerabat terdekatnya, ke huta Hela/ besannya, beberapa waktu setelah singkop/ tuntas Paulak Une., secara umum untuk melihat keadaan sosial, ekonomi dan spritual boru dan helanya.
Maknanya adalah silaturahmi dengan keluarga besar besan/ tondong, sebagai implementasi bahwa dengan adanya pernikahan, maka hubungan kekeluargaan itu tidak hanya terbatas pada hela dan boru saja tetapi menyangkut juga keluarga besarnya. Adapun istilah TANGGA dimaksud, beberapa pihak menafsirkan adalah untuk melihat apakah hela/ borunya berasal dari keluarga par tangga ganjil, ruma timbo, yang melambangkan asal usul keluarga yang jelas, atau partangga gonop, yakni keluarga yang tidak jelas asal usulnya, atau mungkin bekas hatoban/ na tinean dan sebagainya.
Tetapi sesungguhnya, klaim ini sudah kurang relevan, karena ketika akan mengawali partuturan/ partondongon, mulai pra marhori-hori dinding, utusan/ intelijen parboru seyogianya melakukan pengumpulan informasi lebih awal mengenai kekeluargaan calon helanya. 

Pepatah menyebut :
Pangaririt pe baoa si doli, lobi pangariritan do ianggo si boru.  Faktor bobot, bibit, bebet dan sebagainya harus sudah dipertimbangkan. Ini bukan soal materialisme, tetapi adalah untuk kehati-hatian.  Orang yang terburu-buru, dan tidak melakukan pertimbangan yang matang, komprehensif adalah bagaikan :
Nai humarojor tata indahanna, Nai humalaput mabola hudonna. 
Kenyataan bahwa misalnya, ternyata hela adalah keluarga yang berasal dari partangga gonop, tidak memiliki dasar yuridis adat yang kuat sebagai alasan untuk menarik boru itu. Itulah jodoh/ sirongkap ni tondi nya, yang sudah direstui dan digabei untuk maranak marboru, matangkang manjuara.
Ndada simanuk manuk, sibontar andora, ndada sitodo turpuk si ahut lomo ni roha.
Orang tua parboru harus menerimanya dengan lapang dada, memberikan nasehat dan dorongan kepada keluarga muda tersebut untuk bekerja keras, hormat, dan melakukan yang terbaik di keluarga besar paranak.  Kalau sekiranyapun status keluarga/ ekonomi orangtua parboru lebih tinggi, atau dari turunan yang merupakan “buruk-buruk ni jarango, ihur-ihur ni bosi ma tasik – keluarga yang telah makmur dan terhormat  beberapa turunan), itu tidak boleh menjadi alasan untuk kurang menaruh hormat. Sebaliknya, orang tua boru akan menasehati borunya untuk tetap menjaga nama besar dan nama baik keluarga asalnya.  Borunya adalah utusan/ duta besar terbaik dari keluarga parboru “na patimbo parik jala na gabe paniaran di keluarga hela nya”.
Demikianlah sesungguhnya, makna Paulak Une dan Tingkir Tangga.
Disarankan, di kota-kota besar di mana karena keterbatasan waktu dan sebagainya, tidak perlu dan JANGAN dilakukan itu acara ULAON SADARI. Itu adalah MENYESATKAN, menghilangkan esensi substansi u dan MENDANGKALKAN makna yang sesungguhnya. Hal kunjung- mengunjung keluarga, dapat ditunda, sampai tiba waktu na lehet/ ombas na uli Apalagi di zaman kemajuan teknologi ini, komunikasi sudah sedemikian baik dan lancar. 

Pragmatisme pelaksanaan adat, tidak boleh mengkudeta atau menyimpangi esensi substansi yang hendak ditegakkan, yakni pesan dan poda na tur, bahwa Anak-anak gadis kita harus menjaga kehormatannya, dan kita serta anak lelaki kita harus mendukungnya, agar tetap marbungaran hot di adat, uhum dohot ugari.. .
Pir tondi ma togu, horas tondi ma dingin

Jakarta,   Desember 2013

Penulis,
Praktisi  dan penikmat adat habatahon na tur.